Sejenak aku terdiam mencoba
menguasai pikiranku. Baru saja bumi terasa bergucang membuatku terjatuh dari
rajang tempat tidurku yang baru dan empuk. Aku melihat sekeliling tidak ada
yang berubah semua letak barang-barangku tetap sama persis. Gantungan jaket di
sebelah kanan pintu tetap rapi dengan jaket buluku berwarna biru dan jaket
hitam, warna favoritku. Sedangkan disebelah kiri pintu rak koleksi buku
berbentuk ranting pohon yang menghubungkan dasar lantai kamarku dengan atap
juga masih sama. Koleksi buku yang kususun berdasarkan jenis karangan, abjad
judul buku dan penulis tetap. Di sampingnya beberapa aksesoris seperti jam
dinding, pigura foto keluarga 3 tahun yang lalu saat aku masih duduk di kelas
satu bangku SMA bersama kedua orang tuaku dan adik laki-laki kesayangankku,
gitar hadiah ulang tahunku yang ke 17 dari ayah, dan lukisan seorang wanita
duduk di bawah pohon sendiri melihat bulang purnama. Itu adalah lukisan
pertamaku belajar dari Ibu. Ibu adalah seorang pelukis cukup ternama di kotaku
dan ayah adalah seorang jaksa penuntut umum, sebuah pekerjaan yang penuh resiko
dan tanggung jawab moral yang tinggi. Keadaan kamarku tidak ada yang berubah.
Bukankan jika gempa menimpa pasti aksesoris kecil-kecil ini akan jatuh. Lagi
pula kenapa rumahku terasa sangat sepi bahkan kicau burung Gereja yang hinggap
di antara dahan pohon Cemara depan kamarku seperti biasanya tidak ada. aku
melirik ke jendela barangkali ada pohon tumbang atau aku berada di tengah laut
terbawa arus air seperti kejadian tsunami dalam film-film yang pernah aku lihat.
Hasilnya nol tidak ada yang bisa meyakinkan karena jendela tertutup gorden dan
di balkon depan kamarku ada banyak tanaman hias dalam pot. Yang terlihat hanya
sinar matahari yang menembus celah-celah jendela. Artinya pagi pasti sudah
beranjak. Mungkin tadi aku hanya bermimpi. Meskipun sangat jarang aku terjatuh
dari tempat tidur. Terakhir saat aku masih TK mungkin usiaku sekitar 4 tahun.
Aku harus bangun sebelum ibu datang
memarahi dan menghukumku untuk mengepel seluruh rumah sedangkan bibi yang
sering membantu pekerjaan rumah diliburkan sementara. Itulah cara ibuku
mendidik anak-anaknya. Hukuman yang diberikan sangat mendidik terkadang aku dan
adekku harus membaca eksklopedia full bahasa Inggris atau buku dongeng
pewayangan atau buku fiksi karya penulis terkenal seperti karya Andrea Hirata,
Habiburahman El-Shirazy, Tereliye atau penulis lainnya. Lalu aku dan adekku
akan ditanya isinya sesuai waktu yang ditentukan. Sedangkan ayah hanya
tersenyum dan sering memberi dukungan kepada kami. Tapi, jika ayah marah karena
ulah kami hukuman yang diberikan jauh lebih berat kami harus menghafal isi
Undang-Undang NKRI dan memaparkan isinya atau melakukan pengabdian masyarkat
seperti menjadi pelayan di panti jompo atau tinggal di rumah nenek di pelosok
desa menjadi petani. Bekal yang diberikan hanya baju, uang dan gadget disita.
Di sana pun tidak ada jaringan internet, tidak ada angkutan umum untuk ke kota
harus naik kendaraan pribadi dan melewati daerah perhutani yang sarat pohon-pohon
besar dan hantu penunggunya. Jarak yang harus di tepuh sekitar 45 menit. Saat
musim kemarau air PDAM sering mati. Sumur yang ada cukup jauh sekitar 1 km dan
sulit ditempuh dengan kendaraan. Bisa dibayangkan rasanya seperti terisolasi.
Untung masih ada tv, radio, dan listrik.
Entah kenapa rasanya aku sangat
lelah hari ini seperti telah mengalami banyak kejadian tak terduga. Jadi aku
harus segera bangkit. Tapi, kenapa kakiku lemas. Kedua kakiku sulit bergerak,
tidak bisa berdiri. Sudah kupicat berkali-kali dan mengurut belakang lutut.
Tetap sama tidak ada efeknya bahkan aku tidak merasakan apa-apa. Kucubit masih
sama. Ya Tuhan apa yang terjadi kepadaku.“Ibu, ayah..... Ibu” aku berteriak
tapi kenapa tengorokanku terasa sakit sekali. “Dek... adek...Ibu..ayah..”
berulang kali aku berteriak tapi tidak ada yang menyahut. Apa mereka sudah
berangkat beraktivitas. Oh iya, sekarang ibu ada pameran lukisan di balai kota.
Pasti ayah dan adek kesana. Tapi kenapa mereka meninggalkanku disini. Bukankah
aku yang paling antusias saat ibu mengatakan akan memamerkan lukisannya dan aku
menyumbang satu lukisan terbaikku. Kata ibu bisa jadi itu adalah debut
pertamaku sebagai penerus ibu, seorang pelukis yang lebih modern dengan warna
dan kreativitas baru. Setelah melihat pameran kita akan makan di Queen Resto,
restoran terbaik dan termahal di kota ini. Sekaligus sebagai perayaan dan
perpisahan. 2 hari lagi aku akan berangkat ke Malang menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya sesuai keinginan kakek yang belum bisa
dipenuhi ayah terdahulu. Sekali lagi sekuat tenaga aku berusaha mengeluarkan
suara. “Ibu.....ayah.....adek...”. aku mulai panik, suaraku lenyap tertelan
bumi. Hanya keheningan yang kurasakan. Apa yang terjadi padaku? Kucubit
tanganku rasanya sakit. Kucubit kakiku tidak ada yang bisa kurasakan. Ku
pukul-pukul ranjang tempat tidurku. Aku
tidak bisa mendengar apa-apa. Ibu, ayah dimana kalian? Aku takut. Kenapa
rasanya bumi begitu hening? Deru sepeda motor atau mobil di jalanan tidak
terdengar, juga suara burung Gereja depan kamarku? Kenapa kedua kakiku tidak
bisa merasakan apa-apa? Kenapa tenggorokanku sakit sekali? Aku ingin memanggil
kalian. aku ingin berlari memeluk kalian. Rasanya seperti sudah lama kita tidak
bertemu. Sekarang tubuhku menjdi lemas dan kepalaku pusing.
Tidak ada cara lain. Aku harus
memecahkan sesuatu untuk memanggil mereka. Vas bunga di sampingku kulempar
sekuat tenaga dan akhirnya pecah. Bersamaan dengan itu ada kalender dan buku
agenda di bawah vas yang ikut jatuh. Disitu tertulis sekarang hari Kamis, 6
November 2014. Siapa yang iseng menganti kalenderku? Sekarang kan hari Sabtu, 5
Oktober 2013? Pasti ini ulah adikku yang suka menjailiku. Ibu, ayah cepatlah
datang aku ingin tau apa yang terjadi denganku sebenarnya. Aku rindu ibu yang
selalu menyeka air mataku, ayah yang selalu menasehatiku dan adek yang sering
menjailiku. Kenapa mereka lama sekali tidak meresponku. Bibi? Mana bibi yang
biasa menemaniku saat ayah dan ibu ke luar kota. Tidak ada jalan lain maaf ayah
ibu lampu ini harus aku pecahkan. Untuk keduakalinya aku tidak mendengar suara
vas dan lampu pecah. Masih tetap hening dan sepi.
Pintu terbuka, nenek tanteku dan
seorang anak laki-laki seperti adekku tapi tubunya lebih tinggi, gelap dan
kekar datang. Mereka memeluk erat tubuhku sambil menangis. Seakan mereka baru
menemukanku setelah lama menghilang. Padahal aku hanya tertidur semalam dan
pagi ini akan menghadiri pameran lukisan juga makan di Resto terkenal. Sedikit Quality time sebelum aku merantau
menimba ilmu. Berlahan mereka melepas tangannya dan anak itu mengangkat tubuhku
ke ranjang. di antara kedua sudut bibirnya ada dua tahi lalat. Ya, pasti dia
adikku, Arya. Tapi, kenap tubunya menjadi semakin gelap, tinggi dan kekar seperti
pemuda sungguhan. Usianya 2 tahun di bawahku. Bagaimana mungkin hanya satu
malam di berubah. Aku menjadi semakin bingung. Apa yang terjadi.
“Nenek,
tante, adek... ada apa ini?” aku bertanya dengan sekuat tenaga berusaha
mengeluarkan suara.
Mereka
hanya diam. Lalu adek memelukku lagi. Tidak biasanya ini terjadi. Dia orang
yang cuek dan terkesan tidak peduli dengan orang lain. Aku melihat nenek yang
memandangku penuh rasa iba sedangkan tante tiba-tiba lari keluar kamar dengan
air mata berderai. Kelepas pelukannya dan kuseka airmata adekku.
“Kenapa?
Mana ayah dan ibu. Jelasin ke kakak”
Dia
terdiam. Berdiri lalu mengambil bolpoin dan kertas A4 dari meja belajarku. Aku
baru sadar ada beberapa jahitan di tanganya dan bekas luka berwarna hitam di
kaki sebelah kiri. Luka yang cukup lebar.
BERSAMBUNG.............