Jumat, 07 November 2014

Beljar Nulis Part II "Cara Tuhan Jatuh Cinta"



           
            Sejenak aku terdiam mencoba menguasai pikiranku. Baru saja bumi terasa bergucang membuatku terjatuh dari rajang tempat tidurku yang baru dan empuk. Aku melihat sekeliling tidak ada yang berubah semua letak barang-barangku tetap sama persis. Gantungan jaket di sebelah kanan pintu tetap rapi dengan jaket buluku berwarna biru dan jaket hitam, warna favoritku. Sedangkan disebelah kiri pintu rak koleksi buku berbentuk ranting pohon yang menghubungkan dasar lantai kamarku dengan atap juga masih sama. Koleksi buku yang kususun berdasarkan jenis karangan, abjad judul buku dan penulis tetap. Di sampingnya beberapa aksesoris seperti jam dinding, pigura foto keluarga 3 tahun yang lalu saat aku masih duduk di kelas satu bangku SMA bersama kedua orang tuaku dan adik laki-laki kesayangankku, gitar hadiah ulang tahunku yang ke 17 dari ayah, dan lukisan seorang wanita duduk di bawah pohon sendiri melihat bulang purnama. Itu adalah lukisan pertamaku belajar dari Ibu. Ibu adalah seorang pelukis cukup ternama di kotaku dan ayah adalah seorang jaksa penuntut umum, sebuah pekerjaan yang penuh resiko dan tanggung jawab moral yang tinggi. Keadaan kamarku tidak ada yang berubah. Bukankan jika gempa menimpa pasti aksesoris kecil-kecil ini akan jatuh. Lagi pula kenapa rumahku terasa sangat sepi bahkan kicau burung Gereja yang hinggap di antara dahan pohon Cemara depan kamarku seperti biasanya tidak ada. aku melirik ke jendela barangkali ada pohon tumbang atau aku berada di tengah laut terbawa arus air seperti kejadian tsunami dalam film-film yang pernah aku lihat. Hasilnya nol tidak ada yang bisa meyakinkan karena jendela tertutup gorden dan di balkon depan kamarku ada banyak tanaman hias dalam pot. Yang terlihat hanya sinar matahari yang menembus celah-celah jendela. Artinya pagi pasti sudah beranjak. Mungkin tadi aku hanya bermimpi. Meskipun sangat jarang aku terjatuh dari tempat tidur. Terakhir saat aku masih TK mungkin usiaku sekitar 4 tahun.
            Aku harus bangun sebelum ibu datang memarahi dan menghukumku untuk mengepel seluruh rumah sedangkan bibi yang sering membantu pekerjaan rumah diliburkan sementara. Itulah cara ibuku mendidik anak-anaknya. Hukuman yang diberikan sangat mendidik terkadang aku dan adekku harus membaca eksklopedia full bahasa Inggris atau buku dongeng pewayangan atau buku fiksi karya penulis terkenal seperti karya Andrea Hirata, Habiburahman El-Shirazy, Tereliye atau penulis lainnya. Lalu aku dan adekku akan ditanya isinya sesuai waktu yang ditentukan. Sedangkan ayah hanya tersenyum dan sering memberi dukungan kepada kami. Tapi, jika ayah marah karena ulah kami hukuman yang diberikan jauh lebih berat kami harus menghafal isi Undang-Undang NKRI dan memaparkan isinya atau melakukan pengabdian masyarkat seperti menjadi pelayan di panti jompo atau tinggal di rumah nenek di pelosok desa menjadi petani. Bekal yang diberikan hanya baju, uang dan gadget disita. Di sana pun tidak ada jaringan internet, tidak ada angkutan umum untuk ke kota harus naik kendaraan pribadi dan melewati daerah perhutani yang sarat pohon-pohon besar dan hantu penunggunya. Jarak yang harus di tepuh sekitar 45 menit. Saat musim kemarau air PDAM sering mati. Sumur yang ada cukup jauh sekitar 1 km dan sulit ditempuh dengan kendaraan. Bisa dibayangkan rasanya seperti terisolasi. Untung masih ada tv, radio, dan listrik.
Entah kenapa rasanya aku sangat lelah hari ini seperti telah mengalami banyak kejadian tak terduga. Jadi aku harus segera bangkit. Tapi, kenapa kakiku lemas. Kedua kakiku sulit bergerak, tidak bisa berdiri. Sudah kupicat berkali-kali dan mengurut belakang lutut. Tetap sama tidak ada efeknya bahkan aku tidak merasakan apa-apa. Kucubit masih sama. Ya Tuhan apa yang terjadi kepadaku.“Ibu, ayah..... Ibu” aku berteriak tapi kenapa tengorokanku terasa sakit sekali. “Dek... adek...Ibu..ayah..” berulang kali aku berteriak tapi tidak ada yang menyahut. Apa mereka sudah berangkat beraktivitas. Oh iya, sekarang ibu ada pameran lukisan di balai kota. Pasti ayah dan adek kesana. Tapi kenapa mereka meninggalkanku disini. Bukankah aku yang paling antusias saat ibu mengatakan akan memamerkan lukisannya dan aku menyumbang satu lukisan terbaikku. Kata ibu bisa jadi itu adalah debut pertamaku sebagai penerus ibu, seorang pelukis yang lebih modern dengan warna dan kreativitas baru. Setelah melihat pameran kita akan makan di Queen Resto, restoran terbaik dan termahal di kota ini. Sekaligus sebagai perayaan dan perpisahan. 2 hari lagi aku akan berangkat ke Malang menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya sesuai keinginan kakek yang belum bisa dipenuhi ayah terdahulu. Sekali lagi sekuat tenaga aku berusaha mengeluarkan suara. “Ibu.....ayah.....adek...”. aku mulai panik, suaraku lenyap tertelan bumi. Hanya keheningan yang kurasakan. Apa yang terjadi padaku? Kucubit tanganku rasanya sakit. Kucubit kakiku tidak ada yang bisa kurasakan. Ku pukul-pukul ranjang tempat tidurku.  Aku tidak bisa mendengar apa-apa. Ibu, ayah dimana kalian? Aku takut. Kenapa rasanya bumi begitu hening? Deru sepeda motor atau mobil di jalanan tidak terdengar, juga suara burung Gereja depan kamarku? Kenapa kedua kakiku tidak bisa merasakan apa-apa? Kenapa tenggorokanku sakit sekali? Aku ingin memanggil kalian. aku ingin berlari memeluk kalian. Rasanya seperti sudah lama kita tidak bertemu. Sekarang tubuhku menjdi lemas dan kepalaku pusing.
Tidak ada cara lain. Aku harus memecahkan sesuatu untuk memanggil mereka. Vas bunga di sampingku kulempar sekuat tenaga dan akhirnya pecah. Bersamaan dengan itu ada kalender dan buku agenda di bawah vas yang ikut jatuh. Disitu tertulis sekarang hari Kamis, 6 November 2014. Siapa yang iseng menganti kalenderku? Sekarang kan hari Sabtu, 5 Oktober 2013? Pasti ini ulah adikku yang suka menjailiku. Ibu, ayah cepatlah datang aku ingin tau apa yang terjadi denganku sebenarnya. Aku rindu ibu yang selalu menyeka air mataku, ayah yang selalu menasehatiku dan adek yang sering menjailiku. Kenapa mereka lama sekali tidak meresponku. Bibi? Mana bibi yang biasa menemaniku saat ayah dan ibu ke luar kota. Tidak ada jalan lain maaf ayah ibu lampu ini harus aku pecahkan. Untuk keduakalinya aku tidak mendengar suara vas dan lampu pecah. Masih tetap hening dan sepi.
Pintu terbuka, nenek tanteku dan seorang anak laki-laki seperti adekku tapi tubunya lebih tinggi, gelap dan kekar datang. Mereka memeluk erat tubuhku sambil menangis. Seakan mereka baru menemukanku setelah lama menghilang. Padahal aku hanya tertidur semalam dan pagi ini akan menghadiri pameran lukisan juga makan di Resto terkenal. Sedikit Quality time sebelum aku merantau menimba ilmu. Berlahan mereka melepas tangannya dan anak itu mengangkat tubuhku ke ranjang. di antara kedua sudut bibirnya ada dua tahi lalat. Ya, pasti dia adikku, Arya. Tapi, kenap tubunya menjadi semakin gelap, tinggi dan kekar seperti pemuda sungguhan. Usianya 2 tahun di bawahku. Bagaimana mungkin hanya satu malam di berubah. Aku menjadi semakin bingung. Apa yang terjadi.
“Nenek, tante, adek... ada apa ini?” aku bertanya dengan sekuat tenaga berusaha mengeluarkan suara.
Mereka hanya diam. Lalu adek memelukku lagi. Tidak biasanya ini terjadi. Dia orang yang cuek dan terkesan tidak peduli dengan orang lain. Aku melihat nenek yang memandangku penuh rasa iba sedangkan tante tiba-tiba lari keluar kamar dengan air mata berderai. Kelepas pelukannya dan kuseka airmata adekku.
“Kenapa? Mana ayah dan ibu. Jelasin ke kakak”
Dia terdiam. Berdiri lalu mengambil bolpoin dan kertas A4 dari meja belajarku. Aku baru sadar ada beberapa jahitan di tanganya dan bekas luka berwarna hitam di kaki sebelah kiri. Luka yang cukup lebar.


BERSAMBUNG.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar